Tahun 80 – 90an. Sebagai anak kecil yang kurang mainan, saya sering menggunakan jam tangan bapak sebagai sasaran keingintahuan saya. Saya sering menimang jam itu, memperhatikan detailnya. Menempelkannya ke telinga dan mendengar bunyi detak. Bagaimana jam itu bisa hidup padahal tidak pakai batere? Kadang bapak menjelaskan sedikit tentang mekanismenya, tapi waktu itu saya belum benar-benar paham. Yang aneh dan mungkin jorok, saya suka gigit rantainya. Terutama bagian plat tipis di buckle hingga nyangkut sela-sela gigi. Ada kepuasan absurd merasakan logam stainless steel yang nggak usah ditanya higienis apa tidak.
Jam tangan itu adalah satu-satunya jam yang dimiliki bapak. Seingat saya ia tak pernah punya jam tangan lain. Jam itu saja yang terus ia pakai hingga tutup usia. Merknya adalah RICOH, dengan logo kembang terate merah dan kaca yang bertekstur prisma mirip wadah obat tetes mata jadul. Ricoh adalah salah satu brand jam asal Jepang yang terkenal di sini sejak tahun 70-80an. Saya kurang ingat itu automatic atau manual winding.
Ketika saya masuk kuliah, bapak sempat menawarkan saya memakai jam itu. Saya menolak karena waktu itu sudah ada HP. Dan itu saya sesali akhir-akhir ini. Saat saya lagi demen jam gini, saya teringat sama jam punya bapak. Saya cari di tumpukan barang peninggalan bapak di lemari nggak ada. Saya tanya abang saya (yang emang demen nyimpen benda antik) juga nggak tahu. Jangan-jangan jam itu sudah terbuang bersama sampah-sampah yang lain. Padahal tak ada koleksi jam yang berharga lebih dari jam yang diwariskan oleh orangtua. Saya melewatkan kesempatan itu…duh…
Jadi ini cerita tentang jamnya bapak.

"Jame bapak kuwi gawenen." (Jam bapak itu kamu pakai saja lah.) 
Waktu bapak bilang itu saya masih kuliah di Jogja. Saya, sebagai cah enom saat itu menolak. "Alah udah ada HP kok, Pak." Di mata saya, jam bapak itu gak ada pas-pasnya. Jadul, bulky, ndak fashionable blas.
Pernah pula suatu ketika bapak mau membelikan saya mesin ketik. Padahal saya sudah mulai menggunakan komputer. Bapak waktu itu juga heran, "Lha iki kertase seko ngendi le?" Bapak berpikir kalau grafis di komputer itu berasal dari gulungan kertas di tabung.
Jadi jam punya bapak itu benar-benar melambangkan gap generation antara kami.


Lalu kira-kira 7 tahun setelah bapak wafat, saya mulai gemar horology. Barulah saya nyesal banget. Hampir semua barang peninggalan bapak (seperti yg di foto ini, medali veteran dan kompas) masih ada dalam kondisi terawat. Tapi di mana gerangan jam tangannya? Sampai hari ini gak ketemu-ketemu. Apa dikasih seseorang? Tapi siapa?
Repotnya saya baru nyariin juga setelah 7 tahunan. Apa sih pentingnya?
Hmmm tak ada yang bisa menggantikan jam warisan. Jam tangan bisa menjadi simbol konektivitas orang tua dan anak. Ini bukan lagi soal gap generation tapi soal heritage. Saya melewatkan hal itu dengan sia-sia.

Ini foto bapak ketika masih hidup. Sayang sekali saya juga nggak nemu foto bapak yang pas pake jamnya dengan jelas. Tuh cuma keliatan nyempil di lengan jas.

Hubungan saya dengan bapak sebenarnya sih tak terlalu mulus di akhir. We have a distrust issue. He didn't believe about my passion and dream. Tapi setidaknya kenangan manis masa kecil masih terekam. Dia yang mengantarkan saya sekolah SD bahkan sampai kelas 5. Dia tak pernah menampar saya (beda sama ke kakak-kakak saya, maklum tentara). Semasa kecil bapak juga pernah bikinin saya mainan dari bambu. Yang jelas saya ingat tentu jam tangannya. Jam yang pernah saya gigitin rantainya.
Setelah bapak tiada, ada rasa penyesalan. Ya mungkin kami memang buruk dalam membangun sinkronisitas komunikasi.


Saya melihat jam rusak ini di lapak barang bekas online. Saya tak ingat persis apakah modelnya 100% sama. Sialnya foto bapak yang jelas pakai jam pun tak ada jadi susah mengidentifikasi. Yang jelas merk, model kaca, dial, index dan komplikasi sama (minus rantai). Tapi ini kondisi luarnya lebih bagus dari punya bapak. Punya bapak dulu dialnya kotor.
Saat saya pegang...wow...serasa beneran jam bapak. Yah...setidaknya ini bisa menjadi penanda rekonsiliasi emosional saya dengan bapak. Kemudian saya bawalah jam ini ke Pak Gujer Mitra Watch, watchmaker langganan saya. Ngobrol-ngobrol soal orang tua, ternyata tempat servis ini adalah langganan bapak saya juga. Pak Gujer meyakinkan saya bahwa model case jam bapak saya adalah yang di foto ini. Namun model dialnya sama dengan yang saya bawa.



Lalu saya dapat info baru lagi bahwa ternyata jam itu belinya di pakdhenya yang benama Achmadi. Pak Gujer ini memang meneruskan usaha reparasi jam milik Pak Achmadi.  Karena itulah ia 100% yakin kalau model case jam bapak adalah yang seperti di foto. Lalu saya minta ia menukar dialnya saja ke jam yang itu. Apalagi mesin yang dari saya sudah rusak. Tinggal sekarang nyari bracelet yang akurat. Sayangnya saya lupa sama sekali model braceletnya, yang jelas untuk ukuran lug 18mm. Di foto yang itu terlihat dia masih pakai strap kulit. 

Bracelet baru saya belikan after market kemudian. Di bucklenya saya ukir manual nama Bapak Saya: Mashoeri Abisoesanto. Sekali lagi saya tak ingat apa model braceletnya. 


Lengkap dengan bracelet, jam ini seakan lompat dari masa silam kepada saya. Agaknya lumayan. Anggap saja poor man's Grand Seiko hehehe lha rada mirip. Kenapa mesin seindah ini dulu saya tolak ya? Ya karena dulu belum mengapresiasi sih. 


Spec untuk jam ini adalah: automatic dengan 21 jewels, mesin inhouse buatan Ricoh belum saya cek calibernya, kaca akrilik dengan bentuk prismatik, single date di jam 3, quickset dengan menarik crown secara penuh. Casenya full stainless steel. Serial number 61399AC.



Melihat logo di atas tulisan 21 jewels itu kenangan muncul lagi. Dulu semasa kecil saya suka menatap logo kembang lotus di jam bapak berlama-lama. Jangan-jangan dari situ saya ada bakat OCD. Belakangan saya baca referensi katanya itu daun maple. Mirip lotus sih kalau di mata saya.

Oh iya ada cerita yang aneh soal jam ini. 

Sebelum ini saya sering banget bermimpi ketemu alarhum bapak. Rata-rata ia dalam kondisi sendirian di rumah. Kesepian. Itu seperti yang ia rasakan di akhir-akhir usianya. Bapak waktu itu keukeuh hidup sendiri di rumah tuanya. Mbak saya cuma menjenguk sekali sehari bawain makanan. Mbak saya dulu juga punya hubungan kurang baik sama bapak. Lalu ketika saya sudah pulang kampung, bapak saya bujuk untuk tinggal bersama Mbak, sesuai usul mbak sendiri. Sebelumnya dia dibujuk nggak pernah mau. Saya bujuk eh mau. Maka bapak mengakhiri kesepiannya jadi pertapa rumah tua lalu pindah di rumah mbak yang lebih sempit tapi rame.

Bapak kelahiran 1922 dan meninggal tahun 2011. Mungkin karena hubungan kami yang banyak nggak santainya, saya masih sering bermimpi soal bapak. Biasanya kami kembali ke masa-masa saya SMA atau saat masih kecil. Terbangun dari mimpi, saya merasa sedih. Rindu tapi juga nggak jelas apa yang mau dirindukan. Komunikasi kami tak berjalan baik di masa-masa akhir usianya. Namun saya mengakui bahwa beliau adalah bapak yang baik, menanamkan jiwa integritas pada saya. Itu mungkin warisan terbesarnya.

Setelah jam bapak direkontruksi oleh Pak Gujer saya nggak pernah lagi mimpi tentang bapak. Setidaknya nggak yang sedih-sedih lagi. Jujur saya jarang banget mampir ke makam bapak. Tapi jam ini selalu ada dekat saya. Maybe his soul is in this watch already.